Rabu, 02 November 2011

Ketahanan Pangan Keluarga Berbasis Daging Kelinci


Krisis pangan yang melanda berbagai belahan dunia disebabkan oleh menyusutnya produksi hasil-hasil pertanian akibat gagal panen terkait perubahan iklim (pemanasan global) dan pengaruh konversi bahan pangan menjadi bahan bakar nabati (biofuel). Revitalisasi Pertanian tahun 2005 sekedar wacana untuk mengentaskan Indonesia dari krisis pangan. Tahun 2014, pemerintah kembali akan mencanangkan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS), yang merupakan lanjutan program PSDS 2005 dan 2010. Namun, keberhasilannya masih diragukan. PSDS merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi krisis pangan, terutama peningkatan konsumsi protein hewani yang berpayung pada ketahanan pangan nasional. Cara lain dapat ditempuh untuk menopang ketahanan pangan nasional. Salah satunya yaitu dengan menggerakkan masyarakat dari bawah, yaitu dari tingkat keluarga. Peran penyuluh sangat penting dalam mengintroduksi teknologi ke dalam lapisan keluarga.Kebutuhan protein hewani rakyat Indonesia saat ini mulai menempati kondisi yang cukup kritis. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan protein yang berasal dari daging, telur dan susu ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Salah satu yang menjadi sorotan utama pemerintah dalam menangani kecukupan protein hewani adalah dengan pencanangan swasembada daging 2010.

Tolak ukur suatu negara sudah mencapai swasembada daging adalah telah tercapainya swasembada daging sapi di negara tersebut. Pada data populasi ideal, seharusnya pada tahun 2008 ada 14.938.300 ekor sapi potong untuk memenuhi kebutuhan nasional, tetapi menurut Biro Pusat Statistik, pada tahun 2008, baru ada 11.869.000 ekor sapi potong di Indonesia. Artinya kita baru bisa memenuhi 79,45% dari total kebutuhan local. Berdasarkan data tersebut, kebutuhan daging dan populasi sapi potong di Indonesia menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan tersebut masih berada jauh di bawah angka yang ideal. Diperkirakan pada tahun 2010 jika tidak dilakukan upaya terobosan, maka penyediaan sapi dalam negeri hanya mencapai 62,6% atau 259,2 ribu ton, sehingga impor akan semakin membengkak mencapai 37,4% atau apabila disertakan dengan sapi lokal kekurangan sebanyak 708.900 ekor. Devisa yang akan terkuras untuk mengimpor sapi dan dagingnya akan mencapai Rp 23,4 triliun (Dirjen Peterrnakan, 2007)

Sapi potong merupakan komoditi besar sekaligus unggulan dalam bidang peternakan, tetapi dalam hal ini bukan tidak mungkin daging sapi diigantikan dengan produk alternatif lain dalam mencukupi kebutuhan protein hewani. Pemenuhan kecukupan itu dapat bersumber pada ternak lain, misalnya daging kelinci, marmot, kambing, domba dan aneka unggas. Upaya-upaya percepatan swasembada daging tersebut memerlukan komitmen yang besar dari Dinas Peternakan untuk tetap fokus pada perkembangan peternakan di daerahnya. Hal lain yang menjadi faktor pendukung adalah dukungan pemerintah daerah yang dapat memberikan kebijakan yang sesuai bagi potensi peternakan yang berada di daerahnya.

Daging kelinci, jika dibandingkan dengan daging asal ternak lainnya memiliki kandungan protein yang lebih tinggi. Rendahnya kolesterol pada daging kelinci dapat menjadikan daging kelinci sebagai alternatif makanan bagi pasien penyakit jantung, kelebihan berat badan dan kolesterol. Kandungan gizi daging kelinci seperti tingginya asam folat sebesar 36,3 mcg, vitamin B-12 sebesar 32,5 mcg, dan total omega 6 sebesar 3900 mg. Tingginya kandungan gizi daging kelinci tersebut belum banyak diketahui oleh masyarakat. Selain itu, faktor kebiasaan makan dan efek psikologis yang menganggap bahwa kelinci sebagai hewan hias atau kesayangan yang tidak layak dijadikan bahan makanan sumber protein hewani sehingga daging kelinci kurang diminati.

Sistem usahatani terpadu diterapkan menggunakan dua jenis usaha tani, yaitu peternakan kelinci dan pertanian atau perkebunan. Diharapkan dapat memberikan manfaat satu sama lain dengan meminimalisir biaya yang dikeluarkan tanpa mengurangi kualitas prosuk yang dihasilkan. Kelinci dapat memberikan kontribusi hasil sampingan berupa kotoran sebagai unsur hara alami untuk meningkatkan kesuburan tanah. Pupuk padat atau pupuk cair yang asal kotoran kelinci dapat digunakan sebagai unsur hara untuk tanaman di pekarangan rumah, tanaman pertanian atau perkebunan, tergantung tanaman yang dimiliki tiap keluarga.

Penyuluhan pertanian adalah suatu sistem pendidikan di luar sekolah untuk keluarga-keluarga tani di pedesaan, memunculkan rasa ingin tahu dan dapat menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapi secara baik, menguntungkan dan memuaskan. Materi penyuluhan lebih utama disampaikan melalui komunikasi secara langsung, seperti demonstrasi dan kursus ternak. Komunikasi secara tidak langsung dilakukan sebagai penguat metode demonstrasi dan kursus ternak, seperti leaflet dan pemutaran film mengenai ketahanan pangan dan peternakan kelinci. Secara psikososial, penyuluhan dilakukan secara berkelompok. Monitoring dilakukan setiap dua bulan sekali secara individu, agar penyuluh dapat mengevaluasi masing-masing peternakan warga lebih mendalam.
(Dari berbagai sumber; http://ispc-kmipb2010.blogspot.com dan http://isyanaicha.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar